Perkembangan teknologi seperti gawai membawa perubahan dalam kehidupan. Di kota-kota besar pasti tidak asing melihat pemandangan anak-anak kecil berkumpul dengan menatap layar gawai. Saya pun sempat berpikir jika gawai bukan lagi suatu kebutuhan tersier karena terkadang anak-anak sudah mempunyai gawai seperti ponsel atau laptop sendiri.
Hal yang membuat saya penasaran adalah kontrol anak dalam menggunakan gawai tersebut. Tentu orang tua mempunyai peran besar dalam penggunaan gawai pada anak. Jangan sampai tujuan awalnya ingin mendapat manfaat untuk menunjang pendidikan anak, malah mendapatkan mudarat.
Pendidikan anak saat ini memang erat kaitannya dengan teknologi. Adanya teknologi dalam pembelajaran akan meningkatkan keterlibatan anak. Sebab, pembelajaran lebih interaktif, memudahkan dalam mendapat informasi, dan meningkatkan motivasi belajar anak.
Namun sayangnya, di belahan daerah lain di Indonesia masih ada anak-anak yang memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup saja masih susah, apalagi mengikuti perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Salah satu kabupaten yang statusnya di bawah garis kemiskinan pada sepuluh tahun lalu, adalah Garut di provinsi Jawa Barat. Padahal, kabupaten Garut tidak jauh dari beberapa universitas negeri terbaik yang ada di Indonesia, seperti ITB dan Unpad. Namun ilmu-ilmu di sana, baru diterapkan pada sebagian lapisan masyarakat.
sumber dok: Instagram @dewisakbar |
Hal tersebut yang membangkitkan kepedulian Dewis Akbar (42 tahun). Pemuda asal Garut yang merupakan alumnus program studi Ilmu Komputer Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia lebih memilih menjadi guru SD (sekolah dasar) dibandingkan terjun di dunia industri. Menurut Kang Dewis - panggilan akrabnya, di kampung lebih membutuhkan ilmunya daripada di industri. Kang Dewis mengajar ekstrakurikuler TIK (teknologi informasi dan komunikasi) anak SD di sela menjalani aktivitas sebagai petani teh di Garut.
Kegigihan di Tengah Keterbatasan
Sejak tahun 2014, Kang Dewis aktif menjadi tenaga pengajar di SDN Regol 10 di tengah kesibukan mengurus kebun. Dulu, SDN Regol 10 hanya memiliki 1 unit komputer yang dimanfaatkan untuk keperluan administrasi sekolah.
Pengajaran TIK pun hanya berupa teori saja. Dampaknya, anak-anak cepat bosan mengikuti pembelajaran TIK. Padahal agar dapat memahami pembelajaran TIK, harus lebih banyak praktik. Hingga terasa mendapat angin segar, suatu hari SDN Regol 10 mendapatkan tambahan perangkat komputer sebanyak 2 unit. Ruang guru sederhana berukuran 6x6 meter juga diubah menjadi laboratorium komputer.
Namun, 3 unit perangkat komputer masih belum membuat pembelajaran TIK menjadi maksimal. Sebab, jumlah siswa lebih banyak dan materi pembelajaran hanya seputar Microsoft Office. Anak-anak juga harus belajar yang lebih luas seiring dengan perkembangan teknologi semakin cepat.
Adanya keterbatasan tersebut, tidak menyurutkan semangat dan kepedulian Kang Dewis untuk membangun kampungnya. Kang Dewis pun menggagas kelompok ekstrakurikuler yang diberi nama STEAM club. STEAM adalah singkatan dari science, technology, engineering, art, and math.
Apakah berjalan mulus? Ternyata Kang Dewis menemui tantangan di awal yaitu kesulitan mengajarkan pemrograman pada anak-anak yang tidak memiliki komputer di rumah. Mereka menggunakan keyboard untuk mengetik saja masih kesulitan dan membutuhkan waktu lama.
Bukan Kang Dewis jika menyerah begitu saja, apalagi melihat pancaran semangat anak didiknya ketika belajar komputer. Kang Dewis pun meminta anak yang sudah mahir menggunakan komputer untuk mengajari temannya.
sumber dok: youtube Astra |
Ciptakan Saron Simulator
Kang Dewis berusaha mengajarkan coding (pemrograman) melalui club ekstrakurikuler tersebut. Harapannya, anak-anak bukan hanya belajar hal-hal dasar tentang komputer, tetapi sudah seharusnya eksplorasi seperti membuat aplikasi melalui pemrograman.
Proyek pertama club tersebut adalah saron simulator. Sebuah aplikasi yang dibuat untuk membantu siswa dalam belajar dan bermain gamelan.
Saron simulator dapat dimainkan seperti alat biasa. Alat tersebut terbuat dari bahan sederhana seperti akrilik dan papan kayu. Berbentuk tipis, ringan, dan sederhana. Suara gamelan yang dihasilkan merupakan sample suara dari gamelan asli yang direkam menggunakan ponsel.
“Hasil dari sample suara gamelan dimasukan ke aplikasi menggunakan pemrograman. Lalu, dari komputer mengeluarkan suara menyerupai alat gamelan,” terang Kang Dewis.
Saron simulator terus dikembangkan untuk alat musik tradisional yang lainnya. Beberapa alat musik tradisional tersebut adalah bonang, gong, kempul, peking, dan jengglong. Namanya berubah menjadi Gamelan Simulator.
Inovasi Laboratorium Komputer Mini
Melalui STEAM club, Kang Dewis ingin menciptakan terobosan laboratorium komputer mini yang dinamis, tidak hanya berada di satu lokasi, melainkan mobile. Para pegiat TIK yang bergabung dalam STEAM club ingin membuka peluang siswa TK dan SD dengan paparan teknologi yang lebih luas melalui MiniLab on Bike.
MiniLab on Bike tersebut terinspirasi dari perpustakaan keliling. Supaya mobilisasi MiniLab on Bike lebih efisien, maka transportasinya menggunakan sepeda motor daripada mobil. Dengan begitu, belajar TIK tidak lagi harus mencari colokan listrik dan lebih ramah lingkungan.
Ide lab mobile pun inspirasinya dari penjual donat keliling. Komputer mini mobile dengan layar ukuran 10 inchi disimpan dalam kontainer plastik. Laboratorium komputer mini yang diciptakan Kang Dewis menggunakan aplikasi diberi nama Raspberry Pi.
Melalui MiniLab on Bike, Kang Dewis dapat berkeliling ke berbagai sekolah yang ada di Garut. Saat menyelenggarakan workshop, Kang Dewis dapat langsung melakukan simulasi kepada siswa dengan peminat yang cukup banyak. Awalnya hanya ingin membatasi 30 siswa setiap sekolah, tetapi hampir 2 kali lipat yang tertarik mengikuti workshopnya. Kang Dewis mampu menekan adanya kesenjangan digital lewat MiniLab on Bike.
sumber dok: Instagram @dewisakbar |
Transformasi Lab Komputer Mini Berkelanjutan
Kang Dewis mempunyai harapan besar dalam melakukan inovasi teknologi di kampungnya. Ia berharap agar anak-anak yang berada di daerah pegunungan atau pedesaan seperti Garut dapat tumbuh menjadi agen distribusi teknologi pembangkit ekonomi.
Menurut Kang Dewis, anak-anak generasi muda yang tinggal di pedesaan sebaiknya mulai membiasakan diri menggunakan teknologi untuk mencari ilmu pengetahuan dari internet. Setelah mendapatkan ilmu yang dicari, langsung diterapkan dan merasakan manfaatnya.
Kang Dewis pun mengatakan, jika sejak sekolah dasar mendapatkan bekal dalam mencari dan memanfaatkan ilmu teknologi dari internet, maka mereka akan menjadi pembelajar sejati yang produktif. Harapannya dapat meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga dan masyarakat di sekitar.
Internet juga sudah merambah masuk di pedesaan. Anak-anak generasi muda tidak lagi wajib merantau ke kota untuk mencari ilmu. Dengan bekal melek teknologi dan internet, generasi muda dapat memanfaatkan ilmu teknologi yang didapat dan diterapkan di lingkungan sekitar.
Usaha Dewis tersebut, tidak selalu mulus, saat pandemi pun laboratorium komputer mini sempat terhenti. Usai pandemi pun harga komponen utama seperti monitor LCD sudah tidak terjangkau. Kang Dewis terus berupaya mencari solusi agar kegiatan pendidikan tetap terus berjalan tanpa harus melakukan penggalangan dana.
Inovasi Layak Mendapat Apresiasi
Kang Dewis Akbar tidak hanya fokus pada pemrograman saja, tetapi juga inovasi. Membangun model pendidikan ICT yang dapat diakses generasi muda melalui edukasi dan literasi digital. Inovasinya menorehkan sederet prestasi dan apresiasi.
Saron Gamelan memenangkan Indonesia ICT Awards (INAICTA) 2014 dan Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (APICTA) 2014. Masih banyak sederet prestasi Kang Dewis yang diraih, tetapi mimpinya tidak berhenti.
Kang Dewis mendapatkan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards dari PT. Astra International Tbk pada tahun 2016. Apresiasi dari SATU Indonesia Awards tentu tidak disia-siakan begitu saja. Apresiasi tersebut digunakan untuk memperbanyak unit lab komputer mini yang telah digunakan oleh guru dan murid sekitar 90 sekolah.
Kang Dewis menjadi contoh nyata generasi muda yang menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga dan lingkungan. Keterbatasan bukanlah penghalang untuk berinovasi.
Posting Komentar
Posting Komentar