Rindu itu bumbunya kehidupan suami istri, maka keluarlah pagi-pagi, carilah bagian dari rezeki di dunia, dan kembalilah di akhir hari penuhi rindu.
Percaya itu ibarat tiang utama dalam pernikahan, maka jagalah dan jangan lalaikan sedikit pun, teguhkan, dan kokohkan dengan jujur dan amanah.
Dan senda-gurau, saling mendengarkan, itu nyawanya berkeluarga, di situ kita saling memahami dan mengerti, mengasihi dan menyayangi.
Di atas segala-galanya, Islam itu ruh kehidupan, tanpanya tak ada guna menikah, takkan bahagia berkeluarga, dan takkan langgeng suami istri.
-Felix Siauw-
Deretan kalimat dari Ustadz Felix Siauw, mengingatkan bahwa Allah yang maha baik mengatur umatnya dalam bingkai pernikahan islam yang sempurna. Di usia dewasa (pasca aqil baligh), Allah beri kesempatan satu ibadah yang akan berlangsung sepanjang kehidupan. Belajar beribadah sepanjang hayat di tiap aktivitas dalam fase pernikahan. Semuanya sudah tahu bahwa menikah bukan hanya menyatukan dua insan lelaki dan perempuan. Tapi penyatuan dua keluarga dengan latar belakang yang unik dan khas. Semua itu jika diniatkan karena Allah tentu akan bernilai ibadah. Sejak perjanjian agung berupa akad nikah diucapkan.
Dalam hitungan lengkap jari-jari satu tangan, Allah izinkan kami berdua sampai hari ini melewati tahun demi tahun. Hari ini mengingatkanku pada 5 tahun lalu, saat suami mengenggam tangan Bapak. Suami ucapkan perjanjian agung yang menyatukan kami. Tidak sempurna tapi kami berusaha menyelaraskan frame of life untuk menguatkan misi keluarga. Aku yang mempunyai kekurangan di satu sisi, suami berusaha untuk membantu melengkapi. Aku dengan kelemahan yang ada, suami mendukung membuatku lebih percaya diri. Begitu juga keputusan berat yang membuat kami terpisah fisik antar negara. Ada pelajaran dalam hidup yang membuatku berbeda. Suami memberi cintanya dengan cara terbaik untukku dan anak.
Dalam perjalanan pernikahan selama ini memang sempat ada bumbu-bumbu tangisan air mata. Tapi hal itu menjadikan lebih banyak introspeksi dan lebih bersyukur melalui pengalaman-pengalaman tersebut. Belajar menurunkan ekspektasi. Belajar menurunkan ego dengan tetap menghormati suami sebagai nahkoda kapal. Belajar memberi respon yang santun saat ada friksi di antara kami. Aku harus banyak belajar karena Allah memang karuniakan perasaan yang peka dan sensitif padaku sebagai fitrah perempuan.
Masih jauh dari keluarga sempurna, masih proses merancang dan menguatkan kembali misi keluarga. Masih berusaha mengokohkan prinsip komunikasi efektif dengan suami. Kami belajar meniti satu demi satu anak tangga dengan harapan mendapat ridho Allah.
Jika manusia diciptakan dengan keunikan, kekurangan dan kelebihan pada diri. Pasti ada rahasia besar dari maksud Allah menyatukan dua insan manusia dalam pernikahan. Saat keduanya mempunyai potensi dan dapat menggali misi spesifik dengan baik, tentu akan menghasilkan misi keluarga yang kuat. Sebelum merancang misi keluarga tentu butuh menyelaraskan frame of life.
Frame of life (FoL) adalah cara pandang hidup seseorang. Di kelas belajar jadi istri, dijelaskan oleh Teh Febrianti Almeera bahwa berrumahtangga adalah proses panjang untuk menyelaraskan Frame of Life suami dengan Frame of Life istri. Saat selaras akan berusaha mewujudkan kondisi saling memahami antara suami & istri sehingga efektif meredam konflik yang tidak perlu untuk terjadi.
Bagaimana ikhtiar untuk menyelaraskan frame of life yang masih berbeda dengan pasangan? Butuh memperbanyak kesamaan dalam dua hal ini, antara lain:
1. Frame of experience (FoE) yaitu cara pandang yang dibentuk oleh rangkaian pengalaman selama hidup.
2. Frame of references yaitu cara pandang yang dibentuk oleh input informasi (referensi) yang dikonsumsi, bisa melalui apa yang dilihat dan didengar.
Apa tujuan memperbanyak kesamaan dua hal itu? Supaya FoL istri dan FoL suami melebur menjadi FoL bersama. Semoga Allah senantiasa menjaga niat dan menguatkan ibadah sepanjang hayat meraih ridho-Nya.
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-15
Posting Komentar
Posting Komentar