Jam
pelajaran sudah usai tapi saat itu saya masih belum beranjak dari kelas.
Membereskan segala pernak pernik dokumen di meja sambil menemani anak-anak
melakukan piket sepulang sekolah. Tiba-tiba seorang siswa yang piket
memberitahu bahwa ada seseorang yang mencari saya. Ketika melihat sosoknya
membuat saya berpikir antara yakin dan tidak yakin, ini wali murid siapa karena
belum pernah bertatap muka sebelumnya. Ternyata itu adalah wali murid dari
Inats yang mengadu kesal kalau sang anak belum mau pulang. Wali murid
(pengasuh) mengenalkan dirinya bernama Rahma.
Seketika
saya berpikir, “Lha kenapa kok nggak dibujuk sendiri kan dekat sama Mbaknya,
setiap hari bertemu.”
Sambil
mencari si anak, saya pun bertemu guru lain mengadukan hal yang sama bahwa
Inats belum mau pulang meskipun sudah dijemput, malah terkesan menghindar. Saya
masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi dengannya karena tidak
biasanya seperti ini.
Melihat
Inats di sudut suatu tempat yang masih asyik membuka-buka halaman buku, saya
dekati dia sambil bertanya, “Inats baca buku apa? Sudah dijemput lho.”
“Ini
buku yang tadi diceritain Ustadzah,” jawabnya memperlihatkan sampul buku.
“Oh,
terus Inats mau pulang atau masih mau di sini?” berhati-hati saya tanya.
“Nggak
mau pulang,” sahutnya singkat.
Usut
punya usut, ternyata Inats sedang tidak suka dengan Mbak Rahma karena beliau
ketika di rumah jarang mengajaknya bermain lagi dan ada beberapa sikap yang
tidak disukai Inats. Setelah si kecil yang kritis itu diajak bernegosiasi dan
saya sampaikan juga pada Mbak Rahma, akhirnya Inats mau menerima ajakan Mbak
Rahma yang terakhir kali untuk segera pulang.
Dari
ringkasan kejadian di atas, telah terjadi miss komunikasi antara Mbak Rahma dan
Inats sampai butuh seorang penengah untuk dapat menyelesaikan masalahnya.
Sebetulnya apa yang membuat terjadinya miss komunikasi itu?
Mungkinkah
karena ada perhatiannya yang salah? Mungkin saja, karena ketika itu Mbak Rahma
sangat menunjukkan kekesalannya kepada Inats ketika tidak mau dijemput dengan
sikap yang menurut saya agak tidak patut melihat ekspresi dan nada bicaranya.
Sehingga seakan, tidak ada sikap baik yang dimiliki Inats karena tertutup satu
sikapnya yang dirasa menjengkelkan.
Terkadang,
itu juga yang dirasakan oleh orang tua ataupun guru, merasa memberi perhatian
yang cukup. Padahal yang dilakukan hanya menegur, menyalahkan saat memerhatikan
sikap anak yang dirasa kurang. Saya sendiri pernah merasa sering menasihati,
memeringatkan kesalahan anak agar mereka memerbaiki sikapnya. Tapi apa yang
terjadi? Si anak malah tidak mau diatur, sikapnya bertambah parah dan merasa
bangga atas suatu kesalahan yang dilakukannya.
Akhirnya
setelah sharing dengan guru dan kepala sekolah, saya mendapat pencerahan dan
pinjaman buku untuk menangani anak-anak seperti itu. Segitu ya? Iya karena
latar belakang pendidikan saya bukanlah guru dan saya juga belum memiliki anak
seusia sekolah dasar. Saya harus banyak belajar untuk memahami ilmu dinamis
yang ada dalam diri anak-anak untuk dapat mencari solusi suatu permasalahan.
Ternyata
ketika itu, saya belum paham bahwa terjadinya kenakalan anak-anak sebetulnya
hanya dalam rangka mencari perhatian saja. Sehingga sangat penting, orang tua
dalam mengarahkan sikap dengan memandang sisi perhatian yang positif. Mengajak
komunikasi secara langsung di saat suasana yang tepat dan kondusif. Memberi
pujian sekecil apa pun kebaikannya.
Ketika
melihat anak bertingkah dengan sikap yang kurang baik, sangat sebisa mungkin
untuk tidak memerhatikan dan menahan diri agar tidak keceplosan. Sulit? Saya
rasa iya karena belum mencoba ketika itu tapi setelah dipraktekkan ternyata
menyenangkan, tidak perlu membuang energi untuk perhatian ke sikap anak yang negatif.
Insya Allah tingkah anak-anak suatu saat akan berhenti karena lelah tidak
diperhatikan.
Posting Komentar
Posting Komentar