Adit
menunggu Mama yang sedang berdiskusi tugas dengan temannya, namanya Tante
Melati. Ketika dilanda bosan karena lama, dia memilih untuk mengamati jalanan
dari balik jendela kamar diskusi. Tante Melati yang melihat kejadian itu mendekat
pada Adit dan menawarkannya untuk menggambar. Dengan menyodorkan lembaran kosong,
Tante Melati memulai dialog dengan bertanya, “Apa yang mau digambar Adit?”
“Gambar
sepeda,” jawab Adit.
“Tapi
boleh minta tolong gambarkan sepeda? Aku nggak bisa gambarnya,” lanjutnya.
“Oke,
kalau mau gambar sepeda, itu rodanya ada berapa?” tanya Tante Melati menerima
tawaran menggambar dari Adit.
Adit
menjawab dengan menceritakan keinginan yang dibayangkannya yaitu sepeda beroda
banyak. Tante Melati yang menuruti keinginan Adit menggambarkan mobil. Dari
gambar mobil itu, Adit meminta digambarkan dengan pintu mobil yang bisa dibuka
dari atas. Sambil menggambar, Tante Melati masih kembali bertanya, “Kalau
pintunya ada di atas, bagaimana cara naiknya?”
Masih
berlanjut percakapan selanjutnya dari Tante Melati yang berusaha menggali
pikiran Adit dengan pertanyaan-pertanyaan untuk mencapai gambaran sepeda sesuai
imajinasi yang diinginkannya. Nampaknya terlihat sederhana dari dialog mereka
tapi itu salah satu contoh penting dalam menemani anak dengan berdialog interaktif bukan hanya memberi
instruksi saja. Kisah itui pernah sekilas membaca postingan dari salah satu kelompok Enlightening Parenting, Bu Okina Fitriani.
Ada
sebuah tesis yang dilakukan oleh Sarah binti Halil bin Dakhilallah Al-Muthiri
dengan judul Dialog Orang Tua dengan Anak dalam Al-Quran
Karim dan Aplikasinya dalam Pendidikan. Ditemukan dialog antara
orang tua dan anak yang tersebar di 17 tempat dalam sembilan surat. Ada 14
dialog pengasuhan antara ayah dan anak, dua lainnya adalah ibu dan anak,
sisanya satu dialog kedua orang tua dengan anak.
Dari
rujukan Al Qur’an itu ternyata dialog adalah hal yang harus ada dalam
pengasuhan. Dan sebaiknya porsi ayah lebih banyak dalam menemani anak berdialog
atau berkisah, seakan temuan ayat-ayat tersebut meluruskan pemahaman bahwa
mendidik anak adalah tugas ibu dan ayah yang mencari nafkah. Ini juga bukan
semata pembelaan karena saya adalah seorang ibu, tapi tanpa ayah, anak kurang
mempunyai kecerdasan logika yang bermakna.
Nah
kembali lagi ke percakapan antara Tante Melati dan Adit yang melakukan dialog
interaktif. Akan berbeda ceritanya ketika Adit meminta tolong digambarkan
sepeda, Tante Melati langsung menggambarnya. Atau berhentilah imajinasi si
Adit, saat Tante Melati di awal percakapan menanyakan, “Di luar ada banyak
mobil, Adit mau gambar mobilnya?”
Tante
Melati sedang berperan sebagai seorang coach (pelatih) yang memandu Adit
untuk berimajinasi menggali cerita dan pemikirannya. Karakteristik seorang
coach dapat diadaptasi dalam pengasuhan. Orang tua memandu mendampingi anak
dalam aktivitasnya agar tumbuh dan berkembang optimal.
Dari
beberapa rujukan buku yang saya baca dan situs www.laurencevanhanswijck.com, ada beberapa cara komunikasi orang tua melakukan choaching,
antara lain:
1.
Memelihara
emosi positif
Anak yang masih
belum sempurna pemikirannya pasti kerap melakukan kesalahan. Sebelum melakukan coaching,
ada baiknya orang tua menyelesaikan emosinya terlebih dahulu supaya yang
dirasakan anak adalah radiasi emosi positif.
2.
Ajukan
pertanyaan, bukan memerintah.
Perintah yang
diganti dengan sebuah pertanyaan, menjadikan anak melakukan sesuatu karena
idenya sendiri. Itu juga akan mengurangi anggapan bahwa orang tua adalah tukang
perintah. Contoh: “Siapa yang belum merapikan mainan?”
3.
Disiplin
yang positif
Dalam melakukan
dialog dengan anak terkadang ada negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Anak
ditawarkan membuat komitmen sendiri untuk menjalankannya secara disiplin
melalui pertanyaan. Contoh: “Kapan tepatnya Kakak merapikan mainan? Lima menit?
Sepuluh menit lagi?”
4.
Letakkan
makna untuk mencapai harapan dan penilaian diri
Secara teori,
membuat pola kalimat yang menghubungkan kondisi nyata dalam sebab akibat. Pola
ini lebih masuk ke bawah sadar daripada nasihat panjang lebar. Contoh: ”Ketika
mengambil barang bukan milikmu, apa yang dinilai Allah? Jumlah atau
perbuatannya?” (dijawab perbuatan)
“Jadi siapa
yang boleh mengambil mangga ini?” (dijawab pemilik rumahnya)
5.
Menghargai
sikap dan pribadinya
Semua orang tua
pasti ingin memiliki anak dengan sikap yang baik. Ketika coaching dirasa
telah berhasil, bisa ditutup dengan ucapan terima kasih atau memuji perubahan
baiknya.
Dari beberapa yang saya jabarkan di
atas, ada kemungkinan, jawaban setiap anak juga berbeda-beda di luar ekspektasi
orang tua. Sehingga butuh proses membangun kedekatan pada anak dengan melakukan
komunikasi dan kegiatan yang berkuantitas serta berkualitas.
Dan yang perlu diingat bahwa komunikasi
bukan sekedar menyampaikan pesan. Perlu strategi komunikasi yang baik supaya
menjadi orang tua yang membimbing dan memandu anak, bukan bersifat bossy.
Salah satu caranya dengan menerapkan coaching dalam pengasuhan.
Posting Komentar
Posting Komentar