Tanpa berlama-lama, Nabi Ibrahim melakukan risalah Allah
mengajak istri dan anaknya berjalan jauh dan berhenti di tengah lembah pasir
dan padang tandus yang tak ada air. Sebelum Nabi Ibrahim meninggalkan,
bertanyalah ibunda Hajar dengan kebingungan, “Apakah ini perintah Tuhanmu?”
“Ya,” jawab tegas Nabi Ibrahim yang cukup menjadi penguat
batin bagi ibu mulia itu. Beratkah itu bagi ibunda Hajar? Pasti. Tapi beranikah
ibunda Hajar melakukan dengan tidak ikhlas? Jelas tidak. Karena beliau meyakini
bahwa hidupnya akan terjamin dengan mematuhi perintah Allah, apa pun
kondisinya.
Dari kisah tersebut, betapa rumit mendefinisikan makna
ikhlas. Ikhlas bukan hanya yang terasa ringan mengerjakannya. Tapi juga
menghadirkan prasangka baik terhadap sang penentu takdir dengan pengorbanan.
Menyandang predikat baru sebagai seorang ibu, mengharuskan
belajar banyak hal, tidak hanya teori tapi praktek. Menjadi ibu pembelajar,
bukan hanya dalam hal fisik tapi juga psikis. Karena ibu, sebagai wanita pada
umumnya mempunyai ladang hati luas yang dapat ditanami bermacam perasaan. Sebagai
pemilik ladang, ibu yang berhak menentukan dan memeriksa perasaan apa yang sudah
tumbuh di dalam hati.
Wahai para ibu, mari kita periksa lagi, sudahkah perasaan
ikhlas tumbuh dan berkembang di hati? Karena ikhlas bukan hanya terasa ringan
saat mengerjakan setiap aktivitas harian bahkan mungkin hadirnya rasa berat malah
menjadi lahan pahala bagi kita. Maka ketika aktivitas keseharian sebagai ibu
ada yang terasa berat, teruslah melakukan sambil berprasangka baik pada-Nya. Semoga kita menjadi ibu yang senantiasa ditumbuhi rasa ikhlas dalam hati.
#30dwc #30dwcjilid12 #day13 #squad4 #keluarga
Posting Komentar
Posting Komentar